Menjadi Mantan Blogger: Sebuah Perjalanan

Tidak seperti remaja lain yang mungkin menyimpan kenangan masa sekolah berupa cinta monyet atau persahabatan yang menyenangkan, aku punya cerita yang berbeda. Aku adalah seorang mantan blogger. Di akhir sekolah menengah pertama, aku memulai blog di Blogspot dan menjadi anggota termuda komunitas blogger di kotaku. Isi blogku saat itu benar-benar acak: kadang puisi, cerita sambung yang sering lupa kusambung, curhatan aneh soal siswa sekolah negeri biasa, dan impian melanjutkan kuliah di jurusan apa setelah lulus SMA.

Sebagai blogger muda, aku sering mengikuti kegiatan komunitas secara impulsif. Mulai dari kumpul-kumpul biasa hingga acara kopi darat dengan korporat yang mengundang blogger untuk mempromosikan produk atau jasa mereka. Pengalamannya cukup menyenangkan. Aku bisa membeli jajanan, menyisihkan sedikit tabungan, dan mendapatkan banyak hadiah, mulai dari pakaian, voucher belanja, hingga traktiran makan bersama anggota blogger lain. Puncaknya adalah ketika Agnes Monica (@agnezmo) memilihku sebagai pemenang sayembara untuk menerima teaser parfum keluarannya! Di saat penggemar lain membeli dengan harga penuh, aku mendapatkan kemasan yang kecil—sama kecilnya dengan uangku saat itu, tapi rasanya luar biasa.

Namun, seiring berjalannya waktu, gairah menulisku perlahan pudar. Kegagalan masuk sekolah favorit adalah patah hati pertama, dan kesulitan beradaptasi di lingkungan baru membuat menulis terasa berat. Jarak tempuh yang jauh dari rumah serta masalah pertemanan menambah beban. Akhirnya, aku membiarkan blogku terbengkalai menjadi sarang laba-laba digital. Masa kuliahku juga tak kalah beratnya.

Aku pernah mencapai titik terendah ketika pertama kali memeriksakan kesehatan mentalku ke psikiater. Pasang surut emosi, sulitnya mengikuti perkuliahan, dan mencoba membangun pertemanan baru membuatku semakin jauh dari dunia kepenulisan. Bahkan, ada saat di mana menulis satu kalimat pun terasa mustahil. Aku merasa kehilangan kemampuan yang dulu menjadi bagian besar dari jati diriku.

Bertahun-tahun aku mencoba menjaga kestabilan mental dengan bantuan profesional, sambil tetap berusaha menulis. Aku bahkan mencoba berbagai bidang lain: desain grafis, videografi, hingga belajar koding seperti seorang insinyur. Absurd, ya? Aku menjajal berbagai platform, mulai dari Blogspot dan WordPress yang klasik, hingga Medium, Instagram, dan TikTok yang lebih modern. Tapi, tak satu pun yang benar-benar berhasil membuatku kembali seperti dulu.

Akhirnya, aku memutuskan untuk membangun website ini lebih serius, lebih profesional. Uangku memang tak banyak, tapi dewasa kini mengajarkanku untuk lebih kreatif memutar otak agar bulan depan bisa membayar tagihan billing.

Andai saja pendewasaanku lebih cepat, pasti sudah lebih banyak tulisan dan kekonyolan yang kubagi. Tapi tak apa, better late than never, kan?