Aku memaafkan diriku sendiri,
aku memaafkan diriku yang mencintai kamu bahkan ketika aku sama sekali belum mengenal namamu dengan persis,
aku memaafkan ketidakberdayaanku yang tidak melakukan hal besar seperti langsung menghubungimu,
aku memaafkan waktu-waktu dimana aku membabi buta ingin segera bersama denganmu,
aku memaafkan diriku di waktu aku membayangkan dirimu hanyalah milikku sepenuhnya,

Aku menunggumu dengan segenap rasa siap dan dewasa yang terus kuasah,
aku menunggumu dengan rasa sabar meski rasanya tidak berujung,
aku menunggumu dengan ketabahan yang tidak akan pernah bisa dimiliki orang lain yang mungkin sama besarnya mengharapkanmu bisa dimiliki,

Aku mencintai kamu duhai pujaan hatiku,
aku mencintai kamu wahai jiwa indah yang aku jaga sebaik-baiknya dalam doa dan Dzat Sang Maha Cinta,
tanpa sedikitpun mengesampingkan cinta-Nya yang jadi muara dimana aku bisa menyebutmu cinta.

*** 

Once I have a best uncle in the world. He save me from my inner child wound, my first childhood trauma. He stay, kept being there in my every ups and downsfall. He give me roof over my head, right into his car, to always carry me away from their home.

Then I got a new mom, second mom after mama. I call her ibu, and of course not in biological way. She came into my life during darkest time, she pulled me outta dark. She lends me new breath, re-shaping new life, to not mirroring their lifetime jerks. She once compliment my writing, over and over again. I start to grow new strong esteem to write more beautiful ever since. She show me how boring, also how much love worth in very stable and healthy way between two person. Strong, simple, but nurturing each other.

Then you ;) just pull me, pull me hard! I'm not a quick person who impulsively saying you're the love of my life. We've been in ten years plus on these same circle. Writing, a simple one, says who? If you won't save me like my beloved uncle, just maybe: would you be my reason to stay the city? To stop all those repeatedly shits cycle and how I always seek for help?

Novelis biasanya identik dengan secangkir kopi yang jadi sahabat sejati. Konon, novelis itu makhluk yang hidupnya tak jauh dari kopi, berandai-andai sepanjang hari, dan selalu tenggelam dalam dunia imajinasi. Vibes-nya santai, kadang nggak kelihatan serius, tapi entah bagaimana tetap ada cerita yang selesai ditulis.

Tapi ternyata, jadi novelis itu nggak sekadar menye-menye nulis cerita gengges. Bukan cuma mengandalkan halu dan spontanitas. Tetap harus ada pegangan, minimal outline, struktur cerita, dan pemahaman yang kuat soal perkembangan karakter dan alur. Kalau nggak, tulisan bisa berantakan dan kehilangan arah. Aku juga harus terus membenahi flow cerita supaya tetap lancar dan mengalir, menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi seiring proses menulis.

Ditambah lagi, aku lebih suka ngedraf banyak bab di awal. Bukan buat ngejar target gila-gilaan, tapi lebih ke manajemen waktu. Dengan stok bab yang cukup, aku bisa lebih fleksibel berhenti sejenak kapanpun kalau ide mampet, kalau capek, kena writer’s block, atau ada acara mendadak. Dengan cara ini, aku nggak perlu khawatir kehabisan waktu buat nulis, meskipun kenyataannya aku juga nggak menulis setiap hari. Jadi ya gitu, nulis sehappy-happynya tanpa mikirin hambatan karena sudah diantisipasi dari awal.

Dulu, aku berpikir menulis fiksi itu terlalu mengawang. Terlalu banyak membayangkan hal yang bahkan nggak ada di dunia nyata. Apalagi awalnya aku cuma ingin menulis buat portofolio agar bisa kerja sebagai copywriter, bukan serius di dunia novel. Tapi ternyata, setelah mencoba nulis di platform online, aku malah menemukan ritme dan kenikmatannya sendiri. Aku jadi paham kalau menulis novel bukan sekadar berhalu, tapi juga seni menyusun narasi yang menghidupkan dunia dan karakter di dalamnya.

Sejak awal tahun ini, aku mulai benar-benar serius menulis setelah menandatangani kontrak novel di platform online. Dari yang awalnya coba-coba, tiba-tiba menulis jadi bagian besar dalam keseharianku. Rasanya seperti masuk ke dunia yang berbeda di mana aku nggak hanya menulis untuk diri sendiri, tapi juga untuk pembaca yang mungkin random mampir baca ceritaku.

Tapi apakah ini berarti menjadi novelis adalah tujuan akhir semua penulis? Sejujurnya, aku masih mencari jawabannya. 

Ibuku selalu mendorongku untuk menulis buku, tapi aku nggak mau karyaku berakhir di rak toko tanpa ada yang baca. Literasi di negaraku masih rendah, dan industri buku fisik pun terus menurun. Aku nggak mau terjebak dalam cara-cara konvensional yang nggak sesuai dengan realita sekarang.

Makanya, aku tetap mengeksplorasi kemungkinan lain. Aku nggak hanya menulis fiksi, tapi juga berusaha menjaga keseimbangan dengan menulis esai nonfiksi. Selain itu, aku mempertimbangkan membuka jasa freelance, menulis untuk website kredibel, atau mencoba format tulisan lain yang lebih fleksibel. Karena bagiku, menulis bukan hanya soal memilih satu jalur dan berhenti di sana.

Yang terpenting adalah menemukan jalan yang paling fulfilling. Dan ternyata, rasanya jauh lebih menyenangkan bisa menikmati proses menulis tanpa terbebani ekspektasi dan kecemasan-kecemasan lain yang mungkin bakal muncul, terus bertumbuh jadi ketakutan penghalang berkarya.

Jadi, apakah aku akan selamanya menjadi novelis? Entahlah. Yang jelas, aku akan terus menulis dengan cara yang paling membuatku merasa hidup.