Americano Bukan Simbol Ketahanan Lambung, Bukan Juga Tak Punya Uang

Kopi telah menjadi sahabat sejati bagi penulis dan seniman, menjadi simbol kreativitas dan produktivitas. Bagiku, cinta pertama terhadap kopi dimulai di usia 12 tahun, saat aku pertama kali mencicipi rasa pahit yang menggugah semangat. Momen itu terasa seperti pembuka jendela menuju dunia baru yang penuh dengan kemungkinan. Di masa SMA, aku sering mengunjungi Starbucks, memilih cappuccino dan moccaccino yang dianggap aman. Suara mesin kopi yang berdengung, aroma biji kopi yang disangrai, dan kebisingan percakapan seolah membangkitkan semangatku untuk berkarya. Setiap tegukan mengingatkanku pada momen-momen penuh energi dan harapan.

Namun, pengalaman pahit datang ketika aku didiagnosis dengan sakit lambung akut yang memaksaku untuk menjauh dari kopi. Perpisahan itu terasa berat; seolah-olah aku kehilangan sahabat yang selalu ada di sampingku. Sembuh berkat puasa sunnah, aku merasa seperti terlahir kembali, dan saat itulah perjalanan baruku dimulai. Dengan hati-hati, aku mencoba kembali merasakan kenikmatan kopi, kali ini dengan lebih bijaksana.

Aku ingat momen konyol saat membeli espresso karena itu pilihan termurah. Saat itu, aku merasa seperti pelukis yang menemukan kanvas baru. Seiring berjalannya waktu, aku mulai membeli grinder manual dan biji kopi sangrai untuk membuat seduhan kopi V60 di rumah. Ini adalah babak baru di mana aku mempelajari seluk-beluk kopi: mengapa kopi bisa mahal, bagaimana setiap seduhan memiliki cerita tersendiri, dan betapa pentingnya proses penyeduhan dalam menghasilkan rasa yang sempurna. Di sinilah aku menemukan kebahagiaan dalam eksperimen—menyandingkan biji kopi dari berbagai daerah, mencoba teknik penyeduhan baru, dan menghargai setiap momen yang dihasilkan.

Dengan berjalannya waktu, aku mampu menyajikan kopi regular setiap hari di rumah, sering kali memilih es vanilla latte. Namun, aku menyadari bahwa aku telah terjebak dalam stigma bahwa peminum americano adalah mereka yang tidak mampu membeli kopi lebih mahal. Ternyata, di balik stigma itu, terdapat pandangan yang lebih dalam. Banyak orang dewasa memilih americano bukan karena keterbatasan finansial, tetapi karena ingin menikmati stimulasi kopi tanpa menambah kalori ekstra dan menjaga kebugaran. Kesadaran ini membawaku pada pemahaman baru tentang dunia kopi; bahwa setiap pilihan memiliki alasan dan cerita di baliknya.

Dengan menambahkan gula stevia cair ke dalam americano, aku menemukan cara untuk tetap menikmati secangkir kopi tanpa mengorbankan kesehatan. Efek dari bergaul dengan lingkungan rumah sakit yang memperhatikan kesehatan juga memengaruhi preferensiku. Ini adalah perjalanan yang bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang keseimbangan. Bahkan, aku pernah bercita-cita menjadi eksportir kopi, terpesona oleh dunia yang penuh rasa dan aroma ini. Bayangkan saja, dari negeri yang melimpah dengan biji kopi berkualitas tinggi! Aku membayangkan diriku mengemasi karung-karung biji kopi, mengarungi lautan, dan menjajakan cita rasa tanah air ke seluruh dunia. Dalam benakku, ada gambaran konyol: aku berdiri di pelabuhan dengan mengenakan topi besar dan kacamata hitam, sambil teriak, “Siapa mau kopi enak dari sini?!” Momen itu menggugah semangat, seolah mengingatkanku bahwa impian yang besar harus diiringi dengan usaha yang nyata.

Namun, di tengah impian itu, aku tak bisa mengabaikan sifatku yang mudah terdistraksi. Dalam pencarian untuk menjadi eksportir kopi, aku juga terjerat dalam berbagai proyek, seperti desain grafis dan videografi. Tiba-tiba, semua hal itu memanggilku. Proyek demi proyek muncul, seperti ombak yang tak pernah reda. Aku terjebak dalam eksperimen kreatif yang berujung pada proyek-proyek konyol, menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyunting video tanpa arah. Dalam kebisingan ide-ide ini, aku menyadari: untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas, aku perlu fokus pada satu hal terlebih dahulu—kopi! Menyadari bahwa fokus adalah kunci, aku mulai menetapkan prioritas dan mengeksplorasi dunia kopi dengan lebih dalam.

Kopi bukan sekadar minuman, tetapi perjalanan yang menyatukan kebangkitan jiwa dan produktivitas, menjaga semangatku tetap berkobar dalam setiap kata yang kutulis. Dalam setiap cangkir kopi, aku menemukan pelajaran hidup, memahami bahwa keberanian untuk mencoba dan belajar dari pengalaman adalah inti dari setiap perjalanan kreatif. Dalam aroma dan rasa kopi, aku menemukan kembali jati diriku—seorang penulis yang tak henti-hentinya berusaha mencari inspirasi di setiap sudut kehidupan.