Mencoba Merayakan Duka

“Bingung? Ya tentu saja. Bagaimanapun, yang terjadi sungguh tidak masuk akal. Hari sebelumnya, seseorang yang kita sayangi masih ada di hadapan kita. Hari ini, seorang dokter menyatakan bahwa orang tersebut sudah tidak ada lagi.” (Halaman 9)

Kehilangan memang selalu datang tanpa pemberitahuan. Apa pun bentuknya, kita merasa bingung dan tidak siap. Kehilangan seorang yang kita sayangi, terutama melalui kematian seringkali menjadi sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa berduka itu tidak hanya soal kematian; bisa jadi itu juga tentang kehilangan dalam bentuk lainnya, seperti pekerjaan, pertemanan, atau bahkan perasaan yang hilang.

Mengalami perasaan kehilangan itu memang tidak mudah. Namun, terkadang kita merasa bahwa rasa bingung itu muncul karena kita masih belum siap menerima kenyataan. dr. Andreas Kurniawan dalam bukunya "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai kehilangan. Ia mengajak kita untuk melihat kehilangan sebagai bagian dari proses alami yang perlu diterima.

Kehilangan Hiro, anak kesayangannya, adalah pengalaman yang sangat mendalam bagi dr. Andreas. Ia memberi kita gambaran tentang bagaimana rasa sakit karena kehilangan bisa jadi sangat sulit untuk ditanggung. Tapi, apakah kamu ingin menukar rasa sakit itu dengan satu kapsul merah yang bisa menghapus seluruh ingatan indah yang pernah ada? Jika tidak, maka kita harus bersiap dengan rasa sakit itu. Kehilangan memang menyakitkan, namun kita bisa mengingat masa-masa indah bersama mereka.

Sebagaimana kita harus siap menghadapi kenyataan, berduka pun memerlukan proses. Proses ini bervariasi bagi setiap orang, dan setiap individu punya cara berbeda dalam menghadapinya. Kadang, kita merasa harus berkabung, merasa bersalah karena tersenyum atau bahagia di tengah kesedihan, merasa bahwa roh orang yang telah meninggal marah jika kita merasa senang. Namun, ingatlah bahwa berduka itu bukan soal bagaimana orang lain melihat kita. Berduka adalah perjalanan pribadi yang harus kita jalani dengan cara kita sendiri.

Saya sendiri meski belum mengalami kehilangan yang mendalam, pernah merasakan betapa beratnya berduka. Misalnya, saat saya kehilangan seorang teman kuliah, Prayoga. Meskipun kami tidak terlalu dekat, rasanya tetap ada kekosongan setelah dia pergi. Kami sempat berhubungan di grup, dan kabar kepergiannya menyebar di sana. Saya melewati tahap demi tahap berduka: mulai dari malas kuliah, datang ke kampus tapi tidak masuk kelas, hingga akhirnya menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada. Saya membayangkan Prayoga tetap kuliah di dimensi lain, menghadapinya dengan cara yang lebih ringan dan penuh penerimaan.

Penerimaan itu datang setelah saya memahami bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Kita tidak perlu takut menghadapi kenyataan bahwa orang yang kita sayangi telah tiada. Bahkan, kita bisa terus mengingat mereka dengan cara yang lebih ringan, seolah mereka tetap hidup di tempat yang lebih baik. Bayangkan jika ayah saya yang telah meninggal terus bermain catur di dunia lain, atau teman-teman saya yang telah pergi tetap kuliah di alam sana. Bukankah itu cara yang menyenangkan untuk mengingat mereka, meskipun saya merasakan rasa kehilangan yang besar?

Proses berduka itu memerlukan waktu, dan saat kita menghadapi kepergian seseorang, kita harus belajar menerima kenyataan. Namun, ada juga pandangan lain yang mengatakan bahwa berduka itu tidak selalu harus dilakukan dengan cara yang penuh kesedihan. Kita bisa merayakan kenangan indah bersama orang yang telah pergi, dan menyimpan mereka dalam hati dengan penuh kebahagiaan.

Berduka juga sering diasosiasikan dengan rasa bersalah jika kita merasa bahagia. Kita berpikir, "Bagaimana bisa saya bahagia sementara orang yang saya sayangi sudah tiada?" Padahal, kebahagiaan itu sah dan kita tidak perlu merasa bersalah karenanya. Proses berduka bukanlah tentang menghindari kebahagiaan, melainkan tentang menemukan cara untuk menerima dan mengingat orang yang telah pergi dengan penuh cinta.

Dan akhirnya, saya menyadari bahwa berduka itu bisa seperti mencuci piring. Mencuci piring bukan hanya soal membersihkan fisik, tetapi juga soal membersihkan hati. Saat mencuci piring, kita membersihkan noda-noda, menghilangkan kotoran yang menempel. Begitu pula dalam berduka, kita membersihkan perasaan kita, menerima kenyataan, dan melepaskan beban yang ada di hati. Sebagaimana dalam mencuci piring, kita perlu membersihkan sisa makanan yang tidak berguna, mengganti spons yang sudah rusak, dan membilas semuanya dengan air bersih. Proses ini tidak mudah, tetapi itu adalah ritual yang memberi kita kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru.

Sebagai contoh, saya sering kali menyusun ulang koleksi buku saya, mengganti wallpaper dinding kamar, atau bahkan membuat lilin aromaterapi sendiri. Itu adalah cara saya untuk membersihkan dan merapikan hati, meski di ruang kecil seperti kamar tidur saya. Ritual-ritual sederhana seperti itu adalah cara saya untuk menerima kenyataan, melepaskan yang lama, dan membuka ruang untuk yang baru.

Mengakhiri proses berduka itu memang tidak mudah, tetapi kita harus belajar menerima dan menghargai proses tersebut. Dengan seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan cara untuk mengingat orang yang telah pergi dengan penuh kasih sayang, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Karena pada akhirnya, berduka itu bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang bagaimana kita belajar mencintai kembali, bahkan setelah kepergian mereka.