Menjadi advokat atau notaris adalah dua profesi andalan lulusan sarjana hukum di negaraku. Jika ingin terlihat lebih gagah, mungkin menjadi hakim atau jaksa adalah pilihan tepat, meskipun itu memerlukan lolos seleksi pegawai aparatur sipil negara terlebih dahulu.
Sebenarnya, saat aku memasuki semester pertengahan kuliah hukum, aku sudah mulai menyederhanakan pikiranku mengenai calon karier di masa depan. Memilih partner yang sejalan dengan visi, menentukan bidang hukum yang spesifik, dan survei untuk pendidikan profesi di universitas tertentu, lalu menjalani pendidikan, ujian, lulus, bekerja, dan akhirnya kaya raya—sepertinya semudah itu, bukan?
Namun, menemukan partner sefrekuensi sama sulitnya dengan menerima diriku sendiri, yang dulunya tak pernah berpikir untuk menjadi siswa hukum. Perbedaan prioritas dan pilihan hidup, ditambah perpisahan akibat kematian calon partner, menjadi halangan untuk mewujudkan mimpi sebagai sarjana hukum berprofesi.
Aku mencoba move on, mencari calon partner yang lebih realistis. Kuputuskan untuk mencari di luar kampus, yaitu saudara dekatku yang merupakan notaris publik aktif. Hingga kini, ia membuka kantornya di rumahnya. Awalnya, aku berpikir ini adalah jalan satu-satunya untuk meneruskan hidup sebagai lulusan hukum, yaitu dengan magang dan membantu di kantor keluarga.
Namun, aku juga mendapat opsi lain: mencari partner baru, mengubah rencana pendidikan profesi ke bidang lain seperti auditor hukum, atau bahkan menjauh dari bidang hukum. Sayangnya, saat aku tak sempat menyampaikan niat baikku untuk membantu di kantor keluarga, kunjungan keluarga yang tidak resmi seolah mengisyaratkanku bahwa bekerja dengan keluarga bukanlah ide yang baik.
Aku menganalogikan situasi ini: ketika kamu sedang batuk dan flu berat, lalu pergi ke rumah sakit dan mendapati bahwa dokter yang memeriksamu adalah kakakmu. Meskipun profesionalisme seharusnya tidak pandang bulu, kedekatan keluarga sulit dihindari. Kamu mungkin akan disuruh pulang atau diremehkan meskipun ia tetap memberikan obat sesuai diagnosanya. Dinamika antara keluarga dan profesionalisme memang rumit jika digabungkan. Karena itu, aku urung menjadikan diriku notaris seperti saudara dekatku.
Selama pencarian kerja ini, rasa bersalah menghantui saat melamar pekerjaan yang lebih umum, yang tidak mempersyaratkan jurusan tertentu. Jika melamar sebagai legal officer, tentu aku akan bersaing dengan kandidat lain dari jurusan yang sama. Melamar posisi umum dengan pesaing dari berbagai jurusan—seperti seni, psikologi, hingga teknik—terasa asing. Rasanya, sob, kamu itu bukan circleku!
Di tengah krisis pencarian kerja ini, aku mendapatkan support system baru di luar keluargaku, dan uniknya, di luar jurusanku pula! Awalnya, mereka mendorongku untuk menjadi notaris, tetapi belakangan aku merasa lebih hidup ketika mendapatkan pujian dan kepercayaan bahwa aku sebenarnya lebih cocok menjual tulisan daripada jasa konsultasi hukum. Dengan segala usaha, aku mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian untuk menulis lagi. Tulisan ini pun akan kukirimkan kepada mereka seperti koran harian yang biasa kutulis, berisi ceracauan, ketakutan akan masa depan, atau mimpi besar yang tak pernah mereka remehkan.