Di era yang serba cepat ini, kita bisa mendapatkan informasi yang kita butuhkan hanya dengan mengetik di pencarian Tiktok, daripada mencari lewat "Mbah Google". Tinggal cari, klik, dan langsung paham! Tapi sayangnya, seringkali durasi video terlalu singkat dan informasinya menjadi terpotong-potong. Banyak video yang berusaha membagi-bagi info dalam beberapa bagian, yang kadang malah bikin informasi jadi misleading, setidaknya itu yang kurasakan sebagai generasi yang sedikit lebih tua. Ternyata, milenial tidak selalu berpikir se-mindful aku.

Aku dulu hanya seorang pembaca kasual. Sejak sekolah, aku sering menabung sisa uang jajanku untuk membeli buku fisik. Kendalanya, tidak ada tempat untuk menyimpan buku, keinginan impulsif yang terlalu sering membeli, dan perdebatan di rumah tentang seberapa pentingnya memiliki hobi membaca dan mengoleksi buku. Semua kendala itu mulai aku atasi dengan beralih menggunakan perangkat elektronik. Aku mengelola koleksi buku digital di berbagai platform pembaca buku. Buku digital dengan aplikasi seperti Books! di perangkat Apple sangat memanjakan mataku, memungkinkan pengalaman membaca yang nyaman dengan penyesuaian kecepatan yang fleksibel.

Beberapa teman sebayaku yang juga hobi membaca mulai beralih ke Kindle. Yang lainnya memilih Kobo, Onyx, atau perangkat pembaca buku lainnya yang terpisah dari ponsel atau iPad mereka. Mau tak mau, aku mulai mencari tahu lebih banyak mengenai Kindle. Aku menyusun daftar perbandingan harga dan kelebihan kekurangan perangkat ini, yang akhirnya membawaku pada pencarian informasi lewat video di Tiktok. Dari sana, aku menemukan berbagai pilihan Kindle, mulai dari yang basic hingga yang bebas iklan. Meski informasinya tersedia, banyak langkah dan pilihan yang cukup membingungkan bagi pemula sepertiku.

Aku mencoba menyeimbangkan informasi yang terpotong-potong dari Tiktok dengan riset mendalam berupa teks storytelling mengenai pengalaman orang lain menggunakan Kindle. Rasanya sangat seimbang, seperti memberi waktu untuk mencerna informasi lebih pelan dan lebih mudah dipahami. Akhirnya, aku mengunduh aplikasi Kindle di ponselku, masuk menggunakan akun, dan mulai memindahkan koleksi buku digitalku ke dalam perpustakaan Kindle.

Namun, ada satu hal yang menggangguku, yaitu soal metode pembayaran. Sebagai seseorang yang menghindari kartu kredit karena alasan religius, aku merasa tidak nyaman menggunakan metode pembayaran tersebut. Jadi, aku hanya bergantung pada kartu debit yang saldo gajiku pas-pasan dan sedikit tabunganku. Aku pun menghubungi bank terdekat untuk menyambungkan kartu debitku ke Kindle Store. Ternyata, kartu debitku sudah mendukung pembayaran internasional yang memungkinkan aku membeli buku digital Kindle.

Setelah pembayaran siap, aku harus menangani masalah alamat. Sebagai orang yang tinggal di luar Amerika Serikat, aku perlu alamat yang sah di sana untuk bisa membeli buku di Kindle Store. Akhirnya, aku mendaftar ke Shipito, layanan yang menyediakan alamat lengkap di Amerika Serikat. Dengan alamat itu, aku dapat menambahkannya ke akun Kindle-ku. Shipito juga menawarkan layanan untuk menampung barang fisik dari Amazon yang akan dikirim ke Indonesia, meskipun aku tidak menggunakannya karena hanya membeli buku digital.

Setelah langkah-langkah itu selesai, aku mulai memindahkan koleksi buku yang ada di perpustakaan aplikasi pembaca lain ke Kindle. Kemudian, aku mulai menjelajahi buku-buku gratis yang ditawarkan Kindle dan menemukan terjemahan Alquran dalam bahasa Inggris karya Talal Itani. Terjemahannya sangat indah, penuh makna, dan membuatku terkesima.

In the name of God, the Gracious, the Merciful. 1. Did We not soothe your heart? 2. And lift from your burden. 3. Which weighed down your back? 4. And raised for you your reputation? 5. With hardship come ease. 6. With hardship come ease. 7. And to your Lord turn for everything. (QS Ash-Sharh: 1-7)

Fitur anotasi di Kindle sangat nyaman, mirip dengan aplikasi bawaan Apple, dan memudahkan untuk menambahkan catatan di setiap kata. Aku sangat terkesan dengan pengalaman membaca ini, bahkan hampir putus asa mencari Surat Insyirah favoritku karena terjemahannya begitu luar biasa. Buku pertama yang benar-benar ingin kubaca seumur hidupku sebagai seorang Muslimah. Aku sangat menyesali mengapa baru sekarang menggunakan Kindle dan menemukan tulisan-tulisan indah seperti ini.

PS: Rekrut aku jadi penulismu! Karena tanpa disadari, kau sudah membelikanku perangkat Kindle yang membawa banyak manfaat. 😉
“Bingung? Ya tentu saja. Bagaimanapun, yang terjadi sungguh tidak masuk akal. Hari sebelumnya, seseorang yang kita sayangi masih ada di hadapan kita. Hari ini, seorang dokter menyatakan bahwa orang tersebut sudah tidak ada lagi.” (Halaman 9)

Kehilangan memang selalu datang tanpa pemberitahuan. Apa pun bentuknya, kita merasa bingung dan tidak siap. Kehilangan seorang yang kita sayangi, terutama melalui kematian seringkali menjadi sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Namun, perlu diingat bahwa berduka itu tidak hanya soal kematian; bisa jadi itu juga tentang kehilangan dalam bentuk lainnya, seperti pekerjaan, pertemanan, atau bahkan perasaan yang hilang.

Mengalami perasaan kehilangan itu memang tidak mudah. Namun, terkadang kita merasa bahwa rasa bingung itu muncul karena kita masih belum siap menerima kenyataan. dr. Andreas Kurniawan dalam bukunya "Seorang Pria yang Melalui Duka dengan Mencuci Piring" memberikan sudut pandang yang berbeda mengenai kehilangan. Ia mengajak kita untuk melihat kehilangan sebagai bagian dari proses alami yang perlu diterima.

Kehilangan Hiro, anak kesayangannya, adalah pengalaman yang sangat mendalam bagi dr. Andreas. Ia memberi kita gambaran tentang bagaimana rasa sakit karena kehilangan bisa jadi sangat sulit untuk ditanggung. Tapi, apakah kamu ingin menukar rasa sakit itu dengan satu kapsul merah yang bisa menghapus seluruh ingatan indah yang pernah ada? Jika tidak, maka kita harus bersiap dengan rasa sakit itu. Kehilangan memang menyakitkan, namun kita bisa mengingat masa-masa indah bersama mereka.

Sebagaimana kita harus siap menghadapi kenyataan, berduka pun memerlukan proses. Proses ini bervariasi bagi setiap orang, dan setiap individu punya cara berbeda dalam menghadapinya. Kadang, kita merasa harus berkabung, merasa bersalah karena tersenyum atau bahagia di tengah kesedihan, merasa bahwa roh orang yang telah meninggal marah jika kita merasa senang. Namun, ingatlah bahwa berduka itu bukan soal bagaimana orang lain melihat kita. Berduka adalah perjalanan pribadi yang harus kita jalani dengan cara kita sendiri.

Saya sendiri meski belum mengalami kehilangan yang mendalam, pernah merasakan betapa beratnya berduka. Misalnya, saat saya kehilangan seorang teman kuliah, Prayoga. Meskipun kami tidak terlalu dekat, rasanya tetap ada kekosongan setelah dia pergi. Kami sempat berhubungan di grup, dan kabar kepergiannya menyebar di sana. Saya melewati tahap demi tahap berduka: mulai dari malas kuliah, datang ke kampus tapi tidak masuk kelas, hingga akhirnya menerima kenyataan bahwa dia sudah tidak ada. Saya membayangkan Prayoga tetap kuliah di dimensi lain, menghadapinya dengan cara yang lebih ringan dan penuh penerimaan.

Penerimaan itu datang setelah saya memahami bahwa kematian bukan akhir dari segalanya. Kita tidak perlu takut menghadapi kenyataan bahwa orang yang kita sayangi telah tiada. Bahkan, kita bisa terus mengingat mereka dengan cara yang lebih ringan, seolah mereka tetap hidup di tempat yang lebih baik. Bayangkan jika ayah saya yang telah meninggal terus bermain catur di dunia lain, atau teman-teman saya yang telah pergi tetap kuliah di alam sana. Bukankah itu cara yang menyenangkan untuk mengingat mereka, meskipun saya merasakan rasa kehilangan yang besar?

Proses berduka itu memerlukan waktu, dan saat kita menghadapi kepergian seseorang, kita harus belajar menerima kenyataan. Namun, ada juga pandangan lain yang mengatakan bahwa berduka itu tidak selalu harus dilakukan dengan cara yang penuh kesedihan. Kita bisa merayakan kenangan indah bersama orang yang telah pergi, dan menyimpan mereka dalam hati dengan penuh kebahagiaan.

Berduka juga sering diasosiasikan dengan rasa bersalah jika kita merasa bahagia. Kita berpikir, "Bagaimana bisa saya bahagia sementara orang yang saya sayangi sudah tiada?" Padahal, kebahagiaan itu sah dan kita tidak perlu merasa bersalah karenanya. Proses berduka bukanlah tentang menghindari kebahagiaan, melainkan tentang menemukan cara untuk menerima dan mengingat orang yang telah pergi dengan penuh cinta.

Dan akhirnya, saya menyadari bahwa berduka itu bisa seperti mencuci piring. Mencuci piring bukan hanya soal membersihkan fisik, tetapi juga soal membersihkan hati. Saat mencuci piring, kita membersihkan noda-noda, menghilangkan kotoran yang menempel. Begitu pula dalam berduka, kita membersihkan perasaan kita, menerima kenyataan, dan melepaskan beban yang ada di hati. Sebagaimana dalam mencuci piring, kita perlu membersihkan sisa makanan yang tidak berguna, mengganti spons yang sudah rusak, dan membilas semuanya dengan air bersih. Proses ini tidak mudah, tetapi itu adalah ritual yang memberi kita kesempatan untuk memulai sesuatu yang baru.

Sebagai contoh, saya sering kali menyusun ulang koleksi buku saya, mengganti wallpaper dinding kamar, atau bahkan membuat lilin aromaterapi sendiri. Itu adalah cara saya untuk membersihkan dan merapikan hati, meski di ruang kecil seperti kamar tidur saya. Ritual-ritual sederhana seperti itu adalah cara saya untuk menerima kenyataan, melepaskan yang lama, dan membuka ruang untuk yang baru.

Mengakhiri proses berduka itu memang tidak mudah, tetapi kita harus belajar menerima dan menghargai proses tersebut. Dengan seiring berjalannya waktu, kita akan menemukan cara untuk mengingat orang yang telah pergi dengan penuh kasih sayang, tanpa rasa sakit yang berlebihan. Karena pada akhirnya, berduka itu bukan hanya tentang kehilangan, tetapi juga tentang bagaimana kita belajar mencintai kembali, bahkan setelah kepergian mereka.

Aku masih merasa bahwa kesuksesanku terukur dari standar yang mungkin tidak seharusnya aku ambil, seperti menjadi seorang dokter. Seringkali, aku terjebak dalam rasa inferioritas ketika melihat teman-teman yang unggul dalam pelajaran matematika. Sebaliknya, keahlian linguistikku, yang selalu mendapatkan pengakuan dari guru bahasa Inggrisku, seringkali terasa tak berarti. Dalam konteks ini, perjalanan menulisku bukan hanya sebagai hobi, melainkan sebagai pengakuan terhadap diriku sendiri.

Satu hal yang selalu kuingat adalah penguatan dari salah satu support systemku. Mereka melihat potensi dalam tulisan yang kumiliki, yang terus berkembang seiring waktu. Di sinilah aku menyadari bahwa menulis adalah seni yang mungkin lebih kompleks daripada yang terlihat, dan memiliki nilai yang tidak kalah penting dibandingkan dengan jalur akademis yang lebih konvensional.

Meski aku pernah terjun ke berbagai bidang dan mengalami banyak distraksi, aku selalu kembali pada keinginan untuk menulis. Rasanya, berjualan tulisan lebih realistis dan berkelanjutan daripada berjualan makanan di kedai. Menulis memberiku kebebasan untuk mengeksplorasi ide-ide, berbagi cerita, dan bahkan memperjuangkan diri sendiri. Dengan setiap kata yang kutulis, aku bisa mengekspresikan segala sesuatu yang tidak bisa kuucapkan secara langsung.

Terkadang, aku merenung tentang apa yang membuatku merasa hidup. Saat menulis, aku merasakan aliran kreativitas yang mengalir dalam diriku, seperti sungai yang tidak pernah kering. Ini adalah saat ketika aku bisa mengeksplorasi berbagai aspek diriku—kekhawatiran, harapan, dan impian—tanpa takut akan penilaian orang lain. Menulis memberi ruang untuk menjadi diriku yang otentik, dan dalam proses itu, aku belajar untuk mencintai diriku sendiri lebih dalam.

Di sisi lain, jika aku benar-benar memilih untuk mengejar kedokteran, mungkin aku tidak akan memiliki waktu atau energi untuk menulis. Kehidupan sebagai dokter bisa sangat sibuk dan menyita perhatian, sehingga mengorbankan kesempatan untuk berbagi pemikiran dan perasaanku melalui tulisan. Melalui tulisan, aku dapat menemukan kebahagiaan dan kepuasan yang mendalam, yang tidak bisa kudapatkan di jalur yang lebih konvensional.

Sebagai seorang penulis, aku merasa memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan kisah-kisah yang dapat menginspirasi orang lain. Aku berharap tulisan-tulisanku dapat menjadi jendela bagi orang lain untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, dan mungkin, hanya mungkin, membantu mereka dalam perjalanan mereka sendiri. Dalam setiap cerita yang kutulis, aku menanamkan harapan dan keyakinan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk menemukan jalan hidup mereka sendiri.

Dengan semua itu, aku akan terus menulis, membiarkan setiap kata yang kutulis menjadi bagian dari diriku yang terus tumbuh. Mungkin suatu saat nanti aku akan memulai sekolah kedokteran, tetapi untuk sekarang, aku memahami bahwa menulis adalah jalur yang membantuku menemukan siapa diriku sebenarnya dan cara untuk berkontribusi pada dunia ini. Dalam proses mengenal diri sendiri, aku menyadari bahwa jalan yang kuambil adalah milikku, dan aku berhak untuk merayakan setiap langkah yang kutempuh.

Kopi telah menjadi sahabat sejati bagi penulis dan seniman, menjadi simbol kreativitas dan produktivitas. Bagiku, cinta pertama terhadap kopi dimulai di usia 12 tahun, saat aku pertama kali mencicipi rasa pahit yang menggugah semangat. Momen itu terasa seperti pembuka jendela menuju dunia baru yang penuh dengan kemungkinan. Di masa SMA, aku sering mengunjungi Starbucks, memilih cappuccino dan moccaccino yang dianggap aman. Suara mesin kopi yang berdengung, aroma biji kopi yang disangrai, dan kebisingan percakapan seolah membangkitkan semangatku untuk berkarya. Setiap tegukan mengingatkanku pada momen-momen penuh energi dan harapan.

Namun, pengalaman pahit datang ketika aku didiagnosis dengan sakit lambung akut yang memaksaku untuk menjauh dari kopi. Perpisahan itu terasa berat; seolah-olah aku kehilangan sahabat yang selalu ada di sampingku. Sembuh berkat puasa sunnah, aku merasa seperti terlahir kembali, dan saat itulah perjalanan baruku dimulai. Dengan hati-hati, aku mencoba kembali merasakan kenikmatan kopi, kali ini dengan lebih bijaksana.

Aku ingat momen konyol saat membeli espresso karena itu pilihan termurah. Saat itu, aku merasa seperti pelukis yang menemukan kanvas baru. Seiring berjalannya waktu, aku mulai membeli grinder manual dan biji kopi sangrai untuk membuat seduhan kopi V60 di rumah. Ini adalah babak baru di mana aku mempelajari seluk-beluk kopi: mengapa kopi bisa mahal, bagaimana setiap seduhan memiliki cerita tersendiri, dan betapa pentingnya proses penyeduhan dalam menghasilkan rasa yang sempurna. Di sinilah aku menemukan kebahagiaan dalam eksperimen—menyandingkan biji kopi dari berbagai daerah, mencoba teknik penyeduhan baru, dan menghargai setiap momen yang dihasilkan.

Dengan berjalannya waktu, aku mampu menyajikan kopi regular setiap hari di rumah, sering kali memilih es vanilla latte. Namun, aku menyadari bahwa aku telah terjebak dalam stigma bahwa peminum americano adalah mereka yang tidak mampu membeli kopi lebih mahal. Ternyata, di balik stigma itu, terdapat pandangan yang lebih dalam. Banyak orang dewasa memilih americano bukan karena keterbatasan finansial, tetapi karena ingin menikmati stimulasi kopi tanpa menambah kalori ekstra dan menjaga kebugaran. Kesadaran ini membawaku pada pemahaman baru tentang dunia kopi; bahwa setiap pilihan memiliki alasan dan cerita di baliknya.

Dengan menambahkan gula stevia cair ke dalam americano, aku menemukan cara untuk tetap menikmati secangkir kopi tanpa mengorbankan kesehatan. Efek dari bergaul dengan lingkungan rumah sakit yang memperhatikan kesehatan juga memengaruhi preferensiku. Ini adalah perjalanan yang bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang keseimbangan. Bahkan, aku pernah bercita-cita menjadi eksportir kopi, terpesona oleh dunia yang penuh rasa dan aroma ini. Bayangkan saja, dari negeri yang melimpah dengan biji kopi berkualitas tinggi! Aku membayangkan diriku mengemasi karung-karung biji kopi, mengarungi lautan, dan menjajakan cita rasa tanah air ke seluruh dunia. Dalam benakku, ada gambaran konyol: aku berdiri di pelabuhan dengan mengenakan topi besar dan kacamata hitam, sambil teriak, “Siapa mau kopi enak dari sini?!” Momen itu menggugah semangat, seolah mengingatkanku bahwa impian yang besar harus diiringi dengan usaha yang nyata.

Namun, di tengah impian itu, aku tak bisa mengabaikan sifatku yang mudah terdistraksi. Dalam pencarian untuk menjadi eksportir kopi, aku juga terjerat dalam berbagai proyek, seperti desain grafis dan videografi. Tiba-tiba, semua hal itu memanggilku. Proyek demi proyek muncul, seperti ombak yang tak pernah reda. Aku terjebak dalam eksperimen kreatif yang berujung pada proyek-proyek konyol, menghabiskan waktu berjam-jam untuk menyunting video tanpa arah. Dalam kebisingan ide-ide ini, aku menyadari: untuk menghasilkan sesuatu yang berkualitas, aku perlu fokus pada satu hal terlebih dahulu—kopi! Menyadari bahwa fokus adalah kunci, aku mulai menetapkan prioritas dan mengeksplorasi dunia kopi dengan lebih dalam.

Kopi bukan sekadar minuman, tetapi perjalanan yang menyatukan kebangkitan jiwa dan produktivitas, menjaga semangatku tetap berkobar dalam setiap kata yang kutulis. Dalam setiap cangkir kopi, aku menemukan pelajaran hidup, memahami bahwa keberanian untuk mencoba dan belajar dari pengalaman adalah inti dari setiap perjalanan kreatif. Dalam aroma dan rasa kopi, aku menemukan kembali jati diriku—seorang penulis yang tak henti-hentinya berusaha mencari inspirasi di setiap sudut kehidupan.

Setiap kali orang lain bangga dengan kemampuannya, pertanyaan retoris ini selalu muncul dalam pikiranku: apakah aku benar-benar bisa menulis dan layak disebut penulis?

Menyaksikan hasil kerja orang lain yang memukau seringkali membuatku merasa iri, tergoda untuk meniru kesuksesan yang terlihat. Namun, aku menyadari bahwa kesuksesan tidak datang secara instan, bahkan saat membuat mie instan. Impulsif, aku menghabiskan berjam-jam membaca tentang proses kerja videografer ternama yang sabar mencari footage, mengarahkan talent, dan berjam-jam duduk di depan layar untuk edit video. Dengan bodohnya, aku berharap bisa mencapai hasil yang sama—seolah-olah mengabaikan pride-ku sebagai seorang penulis yang sebenarnya bisa berdampak positif bagi banyak orang.

Sering kali, produktivitasku menurun akibat perasaan overwhelmed dan emosi intens yang sulit diredakan. Meski aku mengajarkan cara menulis dengan kesadaran penuh, ada kalanya aku gagal mencapai itu, biasanya setelah pertengkaran atau kesalahpahaman dengan orang terdekat. Aku membiarkan diriku mengalir mengikuti perasaan tersebut, hingga akhirnya memudar.

Tanggapan pertamaku sering kali adalah marah, meski berusaha tetap sadar agar tidak merugikan orang lain atau diriku sendiri. Setelah itu, biasanya aku menangis, membiarkan semua perasaan negatif pergi, dan memperhatikan napas untuk memberi ruang bagi diriku memahami situasi. Terkadang, aku menghubungi teman untuk meminta dukungan, baik melalui pertemuan langsung atau telepon. Jika perlu, aku tidak ragu untuk mencari bantuan dari psikolog.

Setelah perasaan membaik, aku merasa lebih siap untuk berpikir jernih. Mungkin aku memilih makanan cepat saji dan menonton film di Netflix sambil bersantai, atau menulis di jurnal dan mencari inspirasi dari audiobook. Tak ada salahnya mengambil waktu untuk bermalas-malasan, asalkan itu tidak merugikan diriku atau orang lain.

Sebagai manusia, kita pasti mengalami naik turunnya kehidupan. Dan aku bersyukur memiliki support system yang hebat untuk mendukungku melalui proses ini. Bagaimana denganmu?

Suatu waktu, aku menerima pujian dari seseorang yang asing bagiku tentang kemampuanku menulis. Katanya, menulis adalah jalan terangku yang dapat menerangi jalan orang lain jika mereka merasa terinspirasi. Awalnya, aku tersanjung dan menghargai saran-sarannya tentang tulisanku.

Aku mulai mengirimkan draf-draf tulisan acak kepadanya tentang apa pun yang melintas di pikiranku. Dia menyarankan agar aku mencoba menulis dalam kondisi apa pun, tanpa memperhatikan suasana hati. Saat pertama mendengar saran itu, aku mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa menulis saat emosional tidak stabil menghasilkan karya yang baik? Namun, rasa penasaran membawaku untuk mencobanya.

Aku mulai menulis saat marah, sedih, atau stres berat. Hasilnya? Nihil. Tulisan yang kubuat berantakan dan jauh dari harapan. Aku merasa terpaksa menciptakan sesuatu dari keadaan yang tidak produktif. Hingga akhirnya, aku bercerita kepada seorang teman dekat tentang frustrasiku menulis dalam kondisi emosional yang tidak karuan.

Menulis bagiku adalah pekerjaan kompleks yang memerlukan keseimbangan mental. Tidak ada yang bisa menulis dengan baik saat dibanjiri perasaan negatif, atau setidaknya tidak sebelum perasaan itu mereda. Seperti saat aku makan tanpa gangguan, aku ingin menikmati setiap suapan dengan fokus.

Bayangkan jika aku marah karena mobilku diserempet. Apakah aku bisa tetap tenang dan menikmati makanan? Tentu tidak. Sama halnya dengan menulis. Ketika emosi meluap, bagaimana mungkin aku menghasilkan tulisan yang baik? Menulis membutuhkan ketenangan pikiran agar bisa mengalir lancar.

Mindfulness adalah kunciku untuk menulis lebih sadar. Ketika mencium aroma makanan di kafe, mendengar suara riuh pelayan, dan merasakan setiap bumbu dalam masakan, aku pun perlu fokus pada setiap elemen saat menulis. Jika tidak mindful, pikiranku berantakan, dan alih-alih menulis dengan runtut, aku akan kehilangan alur cerita.

Menulis dengan mindful bukan hanya mengatur emosi, tetapi memberi ruang bagi kreativitas untuk berkembang. Setiap penulis memiliki cara berbeda untuk mencapai mindfulness, dan itu sah-sah saja. Yang penting adalah menemukan metode yang cocok dan memberi kendali penuh atas proses kreatif kita.

Tidak ada yang lebih mengerikan bagi seorang penulis daripada tidak dapat menciptakan satu kalimat pun, apalagi menghadapi halaman kosong tanpa sehuruf pun. Meskipun aku mungkin tidak terdengar seperti penulis best seller, setidaknya aku telah menyelesaikan tesis sarjana (dengan susah payah, digarisbawahi) dan koran terbatas yang berisi ungkapan rasa syukur serta keluhan tentang orang-orang terdekatku.

Writer's block adalah musuh terbesarku. Ide-ide yang seharusnya bisa disusun dengan baik tiba-tiba menguap seperti udara. Kepalaku yang penuh dengan gagasan harusnya bisa terorganisir, tetapi malah meluncur deras seperti air bah—oh, sungguh mengerikan! Berbagai cara sudah ku coba untuk mengatasi hal ini, mulai dari beristirahat, melakukan perawatan diri, membaca buku baru, hingga menonton film.

Belakangan ini, aku menyadari bahwa ketidakproduktivanku juga dipengaruhi oleh doomscrolling di media sosial, terutama berita buruk tentang kondisi politik dan ekonomi yang sedang dalam transisi. Kini, aku mengerti mengapa banyak orang tua melarang anak-anak mereka menggunakan gadget secara berlebihan. Meskipun usiaku sudah cukup matang, aku tetap merasa overwhelmed jika terlalu banyak menyerap informasi negatif. Aku bahkan memasang batasan pada aplikasi tertentu agar tidak frustasi.

Di tengah siklus terblokirnya kreativitas ini, aku kadang hanya bisa mengumpat pada tembok kamarku. Sesekali, aku menghubungi seorang teman, mengucapkan sepatah dua kata, lalu menangis sesenggukan. Ajaibnya, temanku tetap di sana menantiku untuk melanjutkan pembicaraan. Aku memutar lagu favorit berulang kali, menonton film yang pasti membuatku menangis, dan berusaha tidur lebih berkualitas.

Satu hal yang menyadarkanku di tengah krisis kreativitas menulis adalah: jika aku sendiri tak menyukai tulisanku, bagaimana mungkin pembacaku akan menyukainya? Hal ini mendorongku untuk lebih mencintai karyaku sendiri, sebab aku tak ingin mengambil tugas membenci yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang tidak menyukai, atau bahkan musuhku.

Salah satu kutipan dari penulis favoritku selalu terngiang di kepalaku: menyukai tulisan sendiri adalah kewajiban, dan jika tulisan itu menginspirasi serta disukai orang lain, itu adalah bonus.

Menjadi advokat atau notaris adalah dua profesi andalan lulusan sarjana hukum di negaraku. Jika ingin terlihat lebih gagah, mungkin menjadi hakim atau jaksa adalah pilihan tepat, meskipun itu memerlukan lolos seleksi pegawai aparatur sipil negara terlebih dahulu.

Sebenarnya, saat aku memasuki semester pertengahan kuliah hukum, aku sudah mulai menyederhanakan pikiranku mengenai calon karier di masa depan. Memilih partner yang sejalan dengan visi, menentukan bidang hukum yang spesifik, dan survei untuk pendidikan profesi di universitas tertentu, lalu menjalani pendidikan, ujian, lulus, bekerja, dan akhirnya kaya raya—sepertinya semudah itu, bukan?

Namun, menemukan partner sefrekuensi sama sulitnya dengan menerima diriku sendiri, yang dulunya tak pernah berpikir untuk menjadi siswa hukum. Perbedaan prioritas dan pilihan hidup, ditambah perpisahan akibat kematian calon partner, menjadi halangan untuk mewujudkan mimpi sebagai sarjana hukum berprofesi.

Aku mencoba move on, mencari calon partner yang lebih realistis. Kuputuskan untuk mencari di luar kampus, yaitu saudara dekatku yang merupakan notaris publik aktif. Hingga kini, ia membuka kantornya di rumahnya. Awalnya, aku berpikir ini adalah jalan satu-satunya untuk meneruskan hidup sebagai lulusan hukum, yaitu dengan magang dan membantu di kantor keluarga.

Namun, aku juga mendapat opsi lain: mencari partner baru, mengubah rencana pendidikan profesi ke bidang lain seperti auditor hukum, atau bahkan menjauh dari bidang hukum. Sayangnya, saat aku tak sempat menyampaikan niat baikku untuk membantu di kantor keluarga, kunjungan keluarga yang tidak resmi seolah mengisyaratkanku bahwa bekerja dengan keluarga bukanlah ide yang baik.

Aku menganalogikan situasi ini: ketika kamu sedang batuk dan flu berat, lalu pergi ke rumah sakit dan mendapati bahwa dokter yang memeriksamu adalah kakakmu. Meskipun profesionalisme seharusnya tidak pandang bulu, kedekatan keluarga sulit dihindari. Kamu mungkin akan disuruh pulang atau diremehkan meskipun ia tetap memberikan obat sesuai diagnosanya. Dinamika antara keluarga dan profesionalisme memang rumit jika digabungkan. Karena itu, aku urung menjadikan diriku notaris seperti saudara dekatku.

Selama pencarian kerja ini, rasa bersalah menghantui saat melamar pekerjaan yang lebih umum, yang tidak mempersyaratkan jurusan tertentu. Jika melamar sebagai legal officer, tentu aku akan bersaing dengan kandidat lain dari jurusan yang sama. Melamar posisi umum dengan pesaing dari berbagai jurusan—seperti seni, psikologi, hingga teknik—terasa asing. Rasanya, sob, kamu itu bukan circleku!

Di tengah krisis pencarian kerja ini, aku mendapatkan support system baru di luar keluargaku, dan uniknya, di luar jurusanku pula! Awalnya, mereka mendorongku untuk menjadi notaris, tetapi belakangan aku merasa lebih hidup ketika mendapatkan pujian dan kepercayaan bahwa aku sebenarnya lebih cocok menjual tulisan daripada jasa konsultasi hukum. Dengan segala usaha, aku mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian untuk menulis lagi. Tulisan ini pun akan kukirimkan kepada mereka seperti koran harian yang biasa kutulis, berisi ceracauan, ketakutan akan masa depan, atau mimpi besar yang tak pernah mereka remehkan.

Tidak seperti remaja lain yang mungkin menyimpan kenangan masa sekolah berupa cinta monyet atau persahabatan yang menyenangkan, aku punya cerita yang berbeda. Aku adalah seorang mantan blogger. Di akhir sekolah menengah pertama, aku memulai blog di Blogspot dan menjadi anggota termuda komunitas blogger di kotaku. Isi blogku saat itu benar-benar acak: kadang puisi, cerita sambung yang sering lupa kusambung, curhatan aneh soal siswa sekolah negeri biasa, dan impian melanjutkan kuliah di jurusan apa setelah lulus SMA.

Sebagai blogger muda, aku sering mengikuti kegiatan komunitas secara impulsif. Mulai dari kumpul-kumpul biasa hingga acara kopi darat dengan korporat yang mengundang blogger untuk mempromosikan produk atau jasa mereka. Pengalamannya cukup menyenangkan. Aku bisa membeli jajanan, menyisihkan sedikit tabungan, dan mendapatkan banyak hadiah, mulai dari pakaian, voucher belanja, hingga traktiran makan bersama anggota blogger lain. Puncaknya adalah ketika Agnes Monica (@agnezmo) memilihku sebagai pemenang sayembara untuk menerima teaser parfum keluarannya! Di saat penggemar lain membeli dengan harga penuh, aku mendapatkan kemasan yang kecil—sama kecilnya dengan uangku saat itu, tapi rasanya luar biasa.

Namun, seiring berjalannya waktu, gairah menulisku perlahan pudar. Kegagalan masuk sekolah favorit adalah patah hati pertama, dan kesulitan beradaptasi di lingkungan baru membuat menulis terasa berat. Jarak tempuh yang jauh dari rumah serta masalah pertemanan menambah beban. Akhirnya, aku membiarkan blogku terbengkalai menjadi sarang laba-laba digital. Masa kuliahku juga tak kalah beratnya.

Aku pernah mencapai titik terendah ketika pertama kali memeriksakan kesehatan mentalku ke psikiater. Pasang surut emosi, sulitnya mengikuti perkuliahan, dan mencoba membangun pertemanan baru membuatku semakin jauh dari dunia kepenulisan. Bahkan, ada saat di mana menulis satu kalimat pun terasa mustahil. Aku merasa kehilangan kemampuan yang dulu menjadi bagian besar dari jati diriku.

Bertahun-tahun aku mencoba menjaga kestabilan mental dengan bantuan profesional, sambil tetap berusaha menulis. Aku bahkan mencoba berbagai bidang lain: desain grafis, videografi, hingga belajar koding seperti seorang insinyur. Absurd, ya? Aku menjajal berbagai platform, mulai dari Blogspot dan WordPress yang klasik, hingga Medium, Instagram, dan TikTok yang lebih modern. Tapi, tak satu pun yang benar-benar berhasil membuatku kembali seperti dulu.

Akhirnya, aku memutuskan untuk membangun website ini lebih serius, lebih profesional. Uangku memang tak banyak, tapi dewasa kini mengajarkanku untuk lebih kreatif memutar otak agar bulan depan bisa membayar tagihan billing.

Andai saja pendewasaanku lebih cepat, pasti sudah lebih banyak tulisan dan kekonyolan yang kubagi. Tapi tak apa, better late than never, kan?

Yang Terhormat, CEO Apple Inc.

Melalui surat ini, saya bermaksud melamar pekerjaan di Apple sebagai copywriter. Adapun portofolio menulis akan segera diposting berkala melalui blog ini. 

Sedikit penjelasan, mungkin, soal latar belakang pendidikan akhir saya yaitu jurusan hukum. Entahlah apakah saya sangat tidak beruntung meneruskan jenjang ke tingkat profesi sebab saya telah melamar kerja pada bidang yang teramat jauh kaitannya dengan ilmu hukum. Saya sudah lulus sarjana sejak 2021, artinya tiga tahun lebih menyebar curriculum vitae; lengkap, selayaknya lamaran kerja ke seantero penjuru planet; baik perusahaan mikro, menengah, hingga multinasional. Hasilnya hampir nihil. Hanya beberapa undangan wawancana kerja HR, penolakan proses rekrutmen selanjutnya, bahkan ghosting tidak jarang dialami seorang insan manusia lulusan baru yang sebetulnya tak lagi pantas disebut baru. 

Di sisi lain, saya adalah fan girl Apple sejati. Tepat memasuki perkuliahan akhir, saya dibelikan Iphone X bekas oleh orangtua yang saya gunakan beberapa tahun kemudian karena rusak. Memilikinya tidak bisa dijelaskan dengan kata tentang betapa megah, dan berharganya. Barangkali ponselnya sama berharganya dengan ginjal saya. Namun karena pencarian pekerjaan yang seperti tiada ujung, sungguh memaksa saya menggunakan ponsel android bekas eksentrik berusia lebih tua dari Iphone saya. 

Saya sungguh menanti kesempatan bisa bergabung menjadi keluarga besar Apple yang nantinya tidak hanya membuat saya punya gaji demi menunjang hidup. Namun pula Iphone terbaru, Ipad Pro, Macbook, dan semua produk Apple sejauh yang bisa saya beli. 

Semoga surat ini sampai pada pihak yang berkaitan. 

Hormat saya, 
Pengangguran Berat Profesional: Hanny